Tuesday 14 August 2012

Seonggok Daging yang Punya Nama


Gue jadi inget, gue pernah baca buku. Di buku itu ditulis bahwa manusia sebenarnya terbagi atas dua jenis,” Ian membuka pembicaraan.
“Apa aja?”
“Manusia internal dan Manusia eksternal,”
“Maksudnya?” Zafran melihat ke Ian sambil mengernyitkan keningnya.
Ian meneruskan, “Manusia eksternal adalah manusia yang selalu memandang sesuatu yang terjadi padanya sebagai akibat keadaan yang terjadi di luar dirinya. Manusia eksternal beranggapan bahwa semua keadaan atau segala kejadian yang menimpa dirinya itu disebabkan oleh keadaan eksternal di luar kendalinya. Kalo gampangnya, manusia yang selalu menyalahkan keadaan.”
“Jadi manusia eksternal selalu berpikir keadaan yang selalu mengontrol dirinya, bukan dirinya yang mengontrol keadaan.” Arial mencoba menyimpulkan.
“Betul Bapak Rambo.”
Zafran ikutan nyambung, “Contoh kecilnya kalo dia kalah main sepakbola yang disalahkan adalah lapangannya atau wasitnya.”
Genta juga ikutan, “Oh gue ada contoh lagi tuh. Ada atlet kita yang kalah di kejuaraan apa gitu gue lupa, tapi yang paling gue inget, dia bilang kalau kekalahannya itu gara-gara ibunya nggak ikut nonton pertandingan. Kalo gue bilang sih alasannya nggak masuk akal.”
Gue  setuju alasannya nggak masuk akal sama sekali kalah menang kan tergantung dia,” Ian mengacungkan jempolnya.
“Dia yang harus ngontrol keadaan, jangan mau kalah sama keadaan,” Dinda berujar pelan.
“Nah itu definisi manusia internal,” Ian melanjutkan penjelasannya.
“Oh, jadi...”
“Iya, manusia internal adalah manusia yang beranggapan bahwa dirinyalah yang harus mengatur keadaan, bukan dirinya yang diatur keadaan.”
“Manusia internal adalah manusia yang akan selalu melihat dahulu apa yang salah dalam dirinya, bukan lantas menyalahkan keadaan.”

Riani berteriak kecil, “Jadi, apa pun itu, cobaan, kekalahan, kegagalan, tidak akan menjadi sesuatu yang buruk. Tapi tergantung bagaimana kita bersikap, tergantung bagaimana kita menyikapinya.”
“Betul lagi...,” Ian mengacungkan jempolnya.
“Tapi sikap kan ada yang positif dan ada yang negatif, Ni?” tanya Zafran ke Riani.
“Iya, jadi mungkin contohnya begini. Misalnya kita lagi dapet cobaan, kegagalanlah yang gampang contohnya, kalo kita memilih bersikap negatif sama kegagalan kita akan menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk, sesuatu yang menghalangi jalan kita. Kita seolah bikin tembok. Tapi, kalo kita bersikap positif sama kegagalan kita, kita akan menganggapnya sebagai suatu pelajaran yang amat berharga yang telah Tuhan berikan untuk kita. Kita ibarat bikin pintu ke jalan baru, bukannya tembok,”

“Iya, sesungguhnya setiap manusia memang diberi kebebasan memilih. Memilih di persimpangan-persimpangan kecil atau besar dalam sebuah ‘Big Master Plan’ yang telah diberikan Tuhan kepada kita semenjak lahir. Jadi semuanya ke masalah pilihan.” Mata Ian berbinar-binar.

“... Tuhan kan sayang banget sama kita, Dia akan terus memberikan hikmah-hikmahnya pada manusia setiap hari. Membuat kita terus belajar agar tidak menjadi sepotong daging yang punya nama yang hanya bisa jalan-jalan doang!!!

“Sesuatu yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian...”
“Dan Tuhan memelihara ketidakpastian itu kepada seluruh umat manusia agar manusia terus belajar, terus bermimpi, dan ujung-ujungnya kita akan kembali pada-Nya.”
“Kayak obrolan sok tau kita barusan,” Zafran tertawa sendiri.
“Sesuatu yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian, semuanya relatif.”
“Itu kan Einstein juga ya?” Ian menatap Genta.
Genta mengangguk...

“Apa pun, menjadi relatif kalo ada dimensi waktu.”
“Contohnya tadi, sesuatu bisa jadi salah atau bisa jadi bener tergantung kapan waktunya sesuatu itu diterapkan.”

“ Teori relativitas itu terjadi karena adanya waktu. Mungkin kalimatnya bisa dilanjutin  jadi satu-satunya yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian dan ketidakpastian itu adalah sifat utama dari sebuah waktu.”

“Kalo waktu nggak ada?”

Lo pasti mati tanggal segini, rezeki lo tuh segini, jodoh lo tuh si ini.”
“Berarti kita jadi nggak punya pilihan, nggak punya kebebasan memilih.”
“Bukan nggak punya kebebasan memilih.”
Lo bahkan nggak  akan pernah punya kebebasan sama sekali.”
“Dan?”
“Dan manusia nggak akan pernah punya yang namanya iman, cita-cita, keinginan, keyakinan, dan mimpi.”
“Karena semuanya sudah pasti.”
Lo nggak akan punya mimpi karena semuanya udah pasti.”

“Demi waktu...”
“Demi waktu...”
“Tapi gue yakin, pasti ada sesuatu yang pasti... yang nggak bisa ditawar, yang bahkan Albert Einstein nggak bisa jelasi.”
Semua anak manusia itu melihat ke langit biru di atas Ranu Kumbolo. Tersenyum satu sama lain.
“Iya, yang di atas sana itu satu yang pasti.”
“Tuh kan balik-baliknya pasti ke yang di atas sana.”
Angin yang membelai wajah mereka lembut menemani hati mereka yang berdoa mengucap syukur.
“Manusia yang nggak percaya sama Tuhan sama saja dengan manusia yang nggak punya mimpi. Cuma seonggok daging yang punya nama.”

5cm- Dhonny Dirgantoro
~penulis yang punya cara gaul buat ngejelasin teori-teori dan filosofi, keren 

No comments:

Post a Comment