“Gue jadi inget, gue pernah
baca buku. Di buku itu ditulis bahwa manusia sebenarnya terbagi atas dua
jenis,” Ian membuka pembicaraan.
“Apa aja?”
“Manusia internal dan
Manusia eksternal,”
“Maksudnya?” Zafran
melihat ke Ian sambil mengernyitkan keningnya.
Ian meneruskan, “Manusia
eksternal adalah manusia yang selalu memandang sesuatu yang terjadi padanya
sebagai akibat keadaan yang terjadi di luar dirinya. Manusia eksternal
beranggapan bahwa semua keadaan atau segala kejadian yang menimpa dirinya itu
disebabkan oleh keadaan eksternal di luar kendalinya. Kalo gampangnya, manusia
yang selalu menyalahkan keadaan.”
“Jadi manusia eksternal
selalu berpikir keadaan yang selalu mengontrol dirinya, bukan dirinya yang
mengontrol keadaan.” Arial mencoba menyimpulkan.
“Betul Bapak Rambo.”
Zafran ikutan nyambung,
“Contoh kecilnya kalo dia kalah main sepakbola yang disalahkan adalah
lapangannya atau wasitnya.”
Genta juga ikutan, “Oh gue ada contoh lagi tuh. Ada atlet kita
yang kalah di kejuaraan apa gitu gue
lupa, tapi yang paling gue inget, dia
bilang kalau kekalahannya itu gara-gara ibunya nggak ikut nonton pertandingan. Kalo gue bilang sih alasannya nggak
masuk akal.”
“ Gue setuju alasannya nggak masuk akal sama sekali kalah
menang kan tergantung dia,” Ian mengacungkan jempolnya.
“Dia yang harus ngontrol
keadaan, jangan mau kalah sama keadaan,” Dinda berujar pelan.
“Nah itu definisi manusia
internal,” Ian melanjutkan penjelasannya.
“Oh, jadi...”
“Iya, manusia internal
adalah manusia yang beranggapan bahwa dirinyalah yang harus mengatur keadaan,
bukan dirinya yang diatur keadaan.”
“Manusia internal adalah
manusia yang akan selalu melihat dahulu apa yang salah dalam dirinya, bukan
lantas menyalahkan keadaan.”
Riani berteriak kecil,
“Jadi, apa pun itu, cobaan, kekalahan, kegagalan, tidak akan menjadi sesuatu
yang buruk. Tapi tergantung bagaimana kita bersikap, tergantung bagaimana kita
menyikapinya.”
“Betul lagi...,” Ian
mengacungkan jempolnya.
“Tapi sikap kan ada yang
positif dan ada yang negatif, Ni?” tanya Zafran ke Riani.
“Iya, jadi mungkin
contohnya begini. Misalnya kita lagi dapet cobaan, kegagalanlah yang gampang
contohnya, kalo kita memilih bersikap negatif sama kegagalan kita akan
menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk, sesuatu yang menghalangi jalan kita.
Kita seolah bikin tembok. Tapi, kalo kita bersikap positif sama kegagalan kita,
kita akan menganggapnya sebagai suatu pelajaran yang amat berharga yang telah
Tuhan berikan untuk kita. Kita ibarat bikin pintu ke jalan baru, bukannya
tembok,”
“Iya, sesungguhnya setiap
manusia memang diberi kebebasan memilih. Memilih di persimpangan-persimpangan
kecil atau besar dalam sebuah ‘Big Master Plan’ yang telah diberikan Tuhan
kepada kita semenjak lahir. Jadi semuanya ke masalah pilihan.” Mata Ian
berbinar-binar.
“... Tuhan kan sayang
banget sama kita, Dia akan terus memberikan hikmah-hikmahnya pada manusia
setiap hari. Membuat kita terus belajar agar tidak menjadi sepotong daging yang
punya nama yang hanya bisa jalan-jalan doang!!!”
“Sesuatu yang pasti di
dunia ini adalah ketidakpastian...”
“Dan Tuhan memelihara
ketidakpastian itu kepada seluruh umat manusia agar manusia terus belajar,
terus bermimpi, dan ujung-ujungnya kita akan kembali pada-Nya.”
“Kayak obrolan sok tau
kita barusan,” Zafran tertawa sendiri.
“Sesuatu yang pasti di
dunia ini adalah ketidakpastian, semuanya relatif.”
“Itu kan Einstein juga
ya?” Ian menatap Genta.
Genta mengangguk...
“Apa pun, menjadi relatif
kalo ada dimensi waktu.”
“Contohnya tadi, sesuatu
bisa jadi salah atau bisa jadi bener tergantung kapan waktunya sesuatu itu
diterapkan.”
“ Teori relativitas itu
terjadi karena adanya waktu. Mungkin kalimatnya bisa dilanjutin jadi satu-satunya
yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian dan ketidakpastian itu adalah
sifat utama dari sebuah waktu.”
“Kalo waktu nggak ada?”
“Lo pasti mati tanggal segini, rezeki lo tuh segini, jodoh lo tuh
si ini.”
“Berarti kita jadi nggak punya pilihan, nggak punya kebebasan memilih.”
“Bukan nggak punya kebebasan memilih.”
“Lo bahkan nggak akan pernah punya kebebasan sama sekali.”
“Dan?”
“Dan manusia nggak akan pernah punya yang namanya
iman, cita-cita, keinginan, keyakinan, dan mimpi.”
“Karena semuanya sudah
pasti.”
“Lo nggak akan punya mimpi karena semuanya udah pasti.”
“Demi waktu...”
“Demi waktu...”
“Tapi gue yakin, pasti ada sesuatu yang
pasti... yang nggak bisa ditawar,
yang bahkan Albert Einstein nggak bisa
jelasi.”
Semua anak manusia itu
melihat ke langit biru di atas Ranu Kumbolo. Tersenyum satu sama lain.
“Iya, yang di atas sana
itu satu yang pasti.”
“Tuh kan balik-baliknya
pasti ke yang di atas sana.”
Angin yang membelai wajah
mereka lembut menemani hati mereka yang berdoa mengucap syukur.
“Manusia yang nggak percaya sama Tuhan sama saja
dengan manusia yang nggak punya
mimpi. Cuma seonggok daging yang punya nama.”
5cm- Dhonny Dirgantoro
~penulis yang punya cara gaul buat ngejelasin teori-teori dan filosofi, keren
No comments:
Post a Comment